AKU MENCINTAIMU SEPERTI PUISI
Malam ini waktu masih menitikkan air dari langit dalam dingin. lembabnya angin yang bertiup membawa bau rerumputan basuh masuk melalui celah jendela penuh embun. Semestinya ia terima saja hujan itu dan biarkan bergemericik di relungrelung waktu, namun semua itu terlalu sempurna untuknya. Karena saat dia menerawang ke langit yang ia lihat hanya warna kelabu, yang ia dapat hanyalah hening bersama sepi. Ketika pintu kebahagiaan tertutup maka lihatlah pintu yang. Namun perempuan itu bodoh bersedia bergelut dalam lubang kecil yang hitam.
“ Tuhan, aku menginginkannya kembali”
terdengar suara perempuan itu dengan sisa isakan tangis. Nyawanya seperti lepas dari jasad. Melejit dengan seluruh teriakan yang tersimpan di selaput geletar kerongkongannya. Tubuhnya terkulai lemas, tersimpuh disudut kamar. Terlihat air mukanya begitu suram, sesuram malam yang memeluk tetesan air langit. Matanya tak berhenti meneteskan butiran kristal nan bening. Baru berapa jam yang lalu ia merasakan indahnya bersama mereka. namun sekarang, makanan, minuman, ketupat yang ada seolah hanya mejadi hiasan meja. Pintu tertutup rapat, gelap, sunyi, seperti tanpa penghuni. Apalah arti idul fitri bagi penghuni rumah itu. Padahal saat takbir dikumandangkan semuanya baik-baik saja. Hanya hitungan hari euphoria itu enyah bagai bumi yang dihantam meteor. Tersirat di wajah perempuan itu betapa ia merindukan ibunya yang sekarang seperti tak berada lagi di galaksi bima sakti. Entah digalaksi mana. Terasa begitu jauh.
Terlihat bocah kecil menghampiri perempuan itu. Kerlingan matanya terlihat sayu. Perlahan ia menghampiri, menatap, dan membelai pipi perempuan itu. Tampak merah kebiruan melekat pada pipi mungil itu. Percikan darah masih menempel dibibir kecilnya. Bocah kecil itu menangis, memeluk erat perempuan itu dengan penuh kasih. Entah mengapa ia menangis, apakah karena batinnya terluka melihat kakak perempuannya itu. Atau karena ia terngiang peristiwa beberapa jam yang lalu. Saat ia dan kakaknya dipaksa berpisah dengan ibunya. Saat ia tak bisa memilih ibu dari pada ayah. Saat perempuan itu ditampar, di caci dan dimaki karena memberontak dan mempertahankan ibunya. Saat ibunya menangis. Saat ibunya tak bisa membawa mereka lari dari sengatan lebah yang menyakitkan. Saat ia melihat perempuan-perempuan yang tak berdaya. saat semuanya tak bisa berkata-kata. Saat si bocah kecil ini hanya bisa menatap dan meringis tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sesuatu yang sublim itu membuat putaran waktu menjadi kacau. Rasa terpuruk yang bergejolak keras dibawah permukaan dunia batin. Baginya sekarang hidup hanyalah malam. Sinaran matahari yang amat tajam bahkan tak mampu meyelusup menerangi jiwanya. Entah apa yang ada dipikirannya, sesuatu yang ia cita-citakan telah ia kubur bersama fragmen-fragmen darah yang semkin membuncah. Hampir seminggu tubuhnya meringkuk di sudut kamar, dengan aroma pakaian yang membalut tubuhnya sekian lama, matanya semakin kecil, tubuhnya kurus, tampak jari-jemari kecil itu seperti hanya dibungkusi kulit. Tiba-tiba sosok laki-laki berdiri di depan pintu kamarnya.
“ Sampai kapan kau mau seperti itu, urus adikmu”
bentak laki-laki berkumis itu sambil menatap tajam matanya. Perlahan perempuan itu berdiri, berjalan sempoyongan tanpa sedikitpun menggubris laki-laki tadi. Ia tutup pintu kamar mengurung diri, kembali tersimpuh di sudut kamar. Jari-jemarinya merayap menggapai sebuah kertas dan pena. Ia tuliskan kata-kata cinta untuk seseorang yang sangat ia rindukan, untuk ibunya yang tak mungkin tergantikan.
Ibu aku mencintaimu seperti puisiTak hanya sekedar kata-kata namun dengan segenap perasaan yang terkadang tak lagi mampu aku muntahkan
Ibu aku mencintaimu seperti puisi
Sama halnya seperti jemariku yang tak bosan mengencani pena walau terkadang apa yang aku tulis tak indah
Aku akan mencintaimu seperti puisi,
Walau terkadang rasa takut membuncah saat apa yang tintaku goreskan menghasilkan sajak yang salah dan penuh dosa
Aku mencintaimu seperti puisi ibu
Seperti sajak yang tersusun dari kata-kata yang jemariku sendiri pun tak mampu membilang berapa jumlahnya
Aku mencintaimu seperti puisi,
Saat terkadang apa yang aku ungkapkan adalah denotasi
sekali lagi,
Aku mencintaimu seperti puisi,
Seperti tinta dan pena yang setia berkencan merangkai kata-kata dengan emosi
Aku akan terus mencintai ibu seperti puisi
Akan kubiarkan semua orang berinterpretasi
Tetap akan kucintai ibu seperti puisi .
Tak peduli berapa banyak tangan yang mencoba mengahapus setiap sajaknya, mencercah setiap baitnya, mengkritik setiap diksinya ,bahkan terhadap orang-orang yang berusaha mengoyakkan kertasnya.
Aku akan mencintaimu dan selalu sama seperti layaknya puisi
Meski banyak orang beranggapan arti dari setiap sajaknya berbeda ataupun banyak diantara kepala mereka yang menginginkan setiap kata terpisah
Karena yang aku tau, mencintai ibu adalah seperti aku menuliskan matahari.
Aku tak kuat akan panasnya, tapi aku selalu suka berapa dalam kehangatannya bahkan, merindui ibu adalah seperti aku menghitung bintang di langit.
Selalu kulakukan namun tak pernah usai.
Selalu,
Aku akan selamanya mencintai ibu seperti puisi,
Dengan kedua belah pipi dan sesudut senyum diantaranya
Dengan cinta,
Rapuh rindu pada harap yang tak kunjung bertemu. Lirih suara alam terdengar semakin merdu mengajaknya untuk memikiran sesuatu. Dulu selalu terlintas dalam pikirannya mimpi yang sempurna. Mempunyai keluarga, mempunyai rumah sederhana dan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Perempuan itu tak pernah bermimpi menjadi orang yang terkenal ataupun orang yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan. Ia hanya ingin bahagia bersama keluarga yang utuh.
Setengah tahun lebih rumah itu sepi, tak ada tangisan adik kecilnya, tak ada lagi celotehan ibunya, tak ada lagi canda tawa. Mungkin sekarang tak bisa tertahan lagi, hati tersayat bertambah parah, gejolak hati ingin meronta bersama getaran rasa yang bergantung di puluran sukma. Perempuan itu memaksa inderanya untuk berucap. Perempuan itu mondar-mandir, bolak-balik kearah yang tak menentu. Perempuan itu sangat resah, bertabur linglung dan kikuk oleh kemelut yang terapung dalam selubung tali raga. Ia beranjak mulai melangkah, menguatkan batin dan memberanikan diri untuk berucap. Diam-diam ia mengintip laki-laki berkumis yang sedang duduk termangu di teras rumah sambil menatap cakrawala. Perempuan itu menghampirinya dengan sangat hati-hati.
“ Ayah” suara perempuan itu memecah kesunyian.
Laki-laki itu tak berbicara apa-apa, hanya menatap kosong mata perempuan itu yang mulai berkaca-kaca.
“ Kami butuh ibu, tolong bawa ibu kembali “ pinta perempuan itu dengan air mata yang mengucur tak tertahankan lagi.
“ Ayah sudah memikirkan hal itu dan ayah akan membawa ibu kalian pulang” jawab laki-laki itu dengan tatapan kosong. Perempuan itu berlari tanpa berkata sepatah katapun, ia memeluk adik kecilnya yang sedang terlelap nyenyak.
“ Ibu akan kembali sayang” ungkapnya dengan senyum mengembang. Tangisnya semakin deras. Mungkin karena ia tidak akan pernah menangis lagi. Tak ada yang patut ditangisi lagi selain menangisi seorang ibu yang dititipkan tuhan sebagai malaikat untuk menjaga hidup manusia yang indah.
Komentar
Posting Komentar