Riwayat Harap
Oleh:
Nela Arista
Aku bukan menghilang dari
peredaran
Aku hanya tak Nampak, bukan karna
aku ingin
Tapi karna kita tak sepaham
(lagi)
***
Engkau mungkin lebih
paham dariku. bagaimana kerinduan datang dengan tiba-tiba begini rupa di antara
pesan-pesan tak bernama. Ia menolak buku-buku bernuansa prosa. Karena yang
diinginkannya adalah pertemuan. Masih ingatkah engkau bagaimana aku mencanduimu
dengan segala ranting patah dan daun-daun musim gugur yang kuserakkan di
halaman belakang rumahmu? Atau masih ingatkah engkau bulir-bulir air mata yang
kucecerkan karena keangkuhanmu ku bujuk engkau untuk menghapusnya, kubujuk
engkau dengan tangis. Selalu saja aku terperangkap sebuah isyarat yang
menuntunku pada kebutaan dan dungu.
Entah bagaimana kita memulainya, kita memulainya dari
pecahan-pecahan kaca yang sudah menjadi pasir. Kita membangun dari
ranting-ranting dahan yang rapuh, kita memulai dari aforisma rasa yang sulit
dijabarkan. Kita membangun tanpa melukiskan sketsa. Aku seperti besi yang
ditawarkan magnet, berjalan melewati hutan saat malam meski takut gelap,
melewati laut meski tak mampu berenang. Aku sanggup! Kala itu.
“Engkau sekarang
berubah, aku merindukan kamu yang dulu, kamu yang membuat aku merasa bahwa kau
lah yang paling sempurna”
Aku hanya tersenyum “Aku
tak berubah Barka, aku tetap seperti yang dulu”
Kau rindu aku seperti
yang dulu? Katamu. Kau hanya memintaku untuk menoleh sekali lagi agar kau dapat
meraba hatiku yang sembunyi dan tersimpan di abad lamat. Kau tau batu yang
keras kalah akan air Barka, kau juga tau bahwa obat bisa menjadi racun. Dan
kaukah itu? Yang tenggelam segalanya disini, diseluruh tarikan nafasku yang
menuliskan mimpi remaja dalam buku-buku yang tak pernah selesai kurekatkan
dijendela penuh ragu. Entah berapa kali kau akan mengerti kesepianku yang
paling dalam. Mungkin ketika usia sudah mulai terbakar.
***
“Kenapa kau berubah dinar?”
“Aku berubah karena engkau Barka”
“Apa aku masih seperti yang dulu, tidak Dinar”
“Iya, tidak”
“Lalu..?”
Kita bertengkar lagi
Kamu seperti
kanak-kanak. Aku seperti kanak-kanak. Kita seperti kanak-kanak. Aku disibukkan
mimpi-mimpi patah harapan yang membaca gerimis. “oh gerimis penuh, apakah kau
merasakan jiwa tanpa rindu terkapar tidak dimengertikan siapapun?”
“Barka, aku ingin engkau menghapus tangisku, dan mengusap kepalaku
saat aku marah, bukankah hal itu selalu kulakukan untukmu dahulu?”
“aku tak pernah kasar lagi Dinar, untuk apa kau lakukan semua ini?
Aku sudah berubah, dendamkah kamu Dinar?”
“Aku hanya ingin engkau melakukan apa yang pernah aku lakukan,
mengalah, atau mengizinkanku menangis dan menghapus tangisku, ohh mungkin juga
mengusap kepalaku, lebih tepatnya bersikap lembut, MUNGKIN”
Barka terdiam
“hmmmm never mind” aku terdiam sejenak
“aku tidak akan menuntut apa-apa, tenanglah” aku tersenyum
Kau mengingatkanku pada ayah Barka.
***
Aku
bisa saja lari, atau sekedar menghilang dari peredaran. Pergi lebih mudah, tapi tidak, aku tidak
lari. Biarlah kita seperti ini, ada tapi tak utuh, pergi tapi tak lari. Aku tak
sempat menceritakannya padamu, menceritakan sebuah harapan yang tak mampu kau
penuhi. Kau mengingatkanku pada sosok yang membenci tangis. Ayah.
Sesulit itukah untuk sedikit
mengangkat tangan, menggerakkan tulang dan urat untuk menyentuh pipi gadis yang
berair? Jika memang itu benar-benar sulit, setidaknya diam saja, biarkan saja
ia membanjir. Sampai kau sadar bahwa jiwanya berserakan. Ah sudahlah. Aku
berhasil melihat musim menutup luka yang kusimpan di lemari. Tak mengapa, aku
akan biasa. Tenanglah.
Jangan kau tanya lagi
Jangan
kau tanya lagi mengapa aku berubah, aku seperti tumpukan air, menjadi batu saat
musim salju. Aku menyesuaikan untuk bertahan. Ada baiknya harap tetap menjadi
harap, agar ia kekal dalam ingatan.
Komentar
Posting Komentar